PROFIL DS. WILLEM MALOALI
Ketua Sinode GKI di Tanah Papua ke tiga 1971 - 1977
Memiliki nama lengkap Willem Maloali, di panggil “pa Maloali” atau “pa Wem”, tulisan ini sebagiannya akan menggunakan nama “Wem”. Lahir di mata jalan Doyo-Sentani, hari Kamis, 27 Desember 1934. Nama orang tua ayah Bapak Kaleb Maloali (alm) dan ibu Mama Fransina Sokoy, seorang perempuan Sentani dari kampung Hobeibei, (nama dahulu : Siboboi), sekarang kampung Hobong. Perkawinan bapak Kaleb dan mama Fransina, dikaruniakan 7 (tujuh) orang anak, yaitu : Willem “Kamea” Maloali adalah anak sulung ; Bartholomeus Maloali ; Socrates Maloali ; Anatjeh Maloali ; Elisabeth
Maloali ; Ismael Maloali ; Corina Maloali. Seumur hidupnya ia mengaku asal kampungnya adalah Yabuai atau sekarang “kampung Yahim”. Pa Wem menikah dengan ibu Elisabeth Charlota Yakadewa, anak dari Bapak Guru Ruben Yakadewa, Guru didikan Kijne di Miei dan Mama Lince. Wem menikah di Jemaat Yahim, 10 Agustus 1959 atau menikah pada usia 25 tahun. Pemberkatan nikah dilakukan oleh Pendeta non-teologi atau Pendeta angkatan bapak Pdt. Zeth Taime. Nats pembacaan saat pemberkatan diambil dari Injil Yohanes 3:30 “Ia harus makin besar, tetapi aku harus makin kecil.” Kesan Wem tentang refleksi Pdt Zeth membuat terkagum dan heran,
karena Pdt Zeth tidak pernah mengeyam pendidikan teologi, namanya tidak ada diangkatan pertama dan kedua yang lulus tahun 1959, dia hanya Pendeta angkatan saja, tetapi dalam nasehatnya Wem mendengar seperti Yohanes Pembaptis menasehati Wem tentang “antara Yesus dan Wem, Yesus semakin besar dan Willem harus semakin kecil, Yesus semakin tinggi Wem semakin rendah hanya dengan menghayati demikian Yesus nampak dan bekerja dalam pekerjaanmu dan Yesus sendirilah yang mengangkatmu pada waktunya. Yohanes dan Yesus hidup pada zaman dan waktu yang sama, karena itu Wem ingatlah ini dalam semua pekerjaanmu kau harus semakin kecil dan Yesus semakin besar”, dari hasil pernikahan Wem dan Otha dikaruniai 5 orang anak, yaitu : (1) Lince F. Maloali (2) Maria S. E. Maloali (3) Janet S. V. Maloali (4) Hans D. H. Maloali (5) Susan Maloali Sampai dengan tahun 2021, Wem memiliki keluarga besar terdiri dari 5 orang anak, 3 orang menantu, 10 orang cucu dan 10 orang cicit. Ia menggenapi firman Tuhan dalam Mazmur 128:6a “dan melihat anak-anak dari anak-anakmu!”.
Arti Nama Tanah “Buyakaro” Seorang pribadi “Willem” oleh orang tua, nama yang diberikan khusus “identitas nama tanah” atau dalam bahasa Sentani “buyakaro” identitas “Willem” pesonanya dihubungkan dengan “martabat bunga hias di pekarangan Nieuw Guinea”, bunga pekarangan itu diberikan nama dalam bahasa Sentani “kamea”, dalam bahasa Latin “Codiaeum variegatum” atau dalam bahasa Indonesia “tanaman hias pekarangan bunga “puring”. Tanaman pekarangan ini identik dengan alam Melanesia, Polinesia dan Mikronesia atau alam kepulauan di sekitar lautan teduh “Pasifik”. Bunga puring semarak daunnya yang warna-warni cerah-ceria kebanyakkan digunakan dalam suasana sukacita, tari-tarian, yang diselipkan pada daun telinga, atau melingkar di kepala atau tangan dan kaki, atau tangkainya dipatahkan untuk digoyang-goyang atau digerakkan mengikuti irama dansa atau tarian, atau digunakan sebagai material dekorasi ruangan, dan berbagai fungsi lainnya
Tempat Sekolah Rakyat – Doorpsschool
Tahun kelahiran Wem adalah tahun 1934, pada masa ini di Resor HolandiaNimboran yang menjadi pemimpin Resor adalah tuan Pandita Hogerwaard, menggantikan tuan Pandita Jacob Bijkerk yang pindah ke Manokwari, sedangkan tuan Pandita Georg Schneider sedang mempersiapkan bangunan rumah zending di Yoka.
Sekitar usia 10 tahun atau 1934-1944 Wem pertama kali mengenyam pendidikan Doorpschool Sekolah Dasar di pulau Ajau, kampung Ifar Besar. Pulau Ajau di bagian tengah danau Sentani, di dalam pulau Ajau terdapat 3 kampung, yaitu kampung Hobong, kampung Ifar Besar dan kampung Ifale (dulu:Ifar Kecil). Mama atau ibu dari Wem berasal dari kampung Hobong, karena ibunya dari pulau Ajau maka ia mempunyai alasan untuk bersekolah Ifar Besar. Di kemudian hari wem menjadi Ketua Sinode GKI ke-3 dan Ketua DPRD Provinsi Irian Barat hingga menjadi anggota DPR-RI. Hal menjadi pemimpin tidak salah karena “darah yang mengalir dari kampung ibunya memberikan karakter kepemimpinan”, sebab sebutan jatidiri kultur untuk keseluruhan“pertalian solidaritas Ajau yang terdiri dari kampung Hobong, kampung Ifar Besar, kampung Ifale, kampung Bujo, kampung Atamali dan kampung Homfolo memiliki nama jatidiri mereka dengan sebutan “oleu neai rai neai, ubee - wabe e” , artinya “keturunan yang memiliki strategi, mental dan karakter bi-politik” dari kata “ubee - wabee n eai” . Figur Wem bagi pulau Ajau sebenarnya hadir sebagai jalan yang memicu dikemudian hari akan hadir dari pulau Ajau pemimpin politik, politik-bisnis dan pemimpin gereja bagi negeri kita tanah Nieuw Guinea, beberapa tokoh Papua, seperti Drs. John Ibo mantan Ketua DPRP dan John Kabey asal dari kampung Hobong ; Barnabas Suebu, SH mantan Gubernur Papua asal dari kampung Ifale (Ifar Kecil) ; Pdt. Alberth Yoku, S.Th asal dari kampung Ifar Besar. Kampung Ifar Besar dalam bahasa setempat dinamakan “Kabeyte Olouwa” atau “pertalian solidaritas keluarga yang dibentuk dari satu moyang mereka Kabey”. Karena memiliki pertalian hubungan dengan kampung Hobong sebagai kampung pusat atau induk yang melebarkan wilayah kekuasaannya dengan lahirkan kampung lain seperti kampung Ifale, kampung Bujo, kampung Atamali dan kampung Babrongko. Guru Zending pertama kali dikirim ke Sentani dari pos Resor Holandia-Nimboran di bukit Mentie Genyem Besar ke kampung Ifar Besar, namanya Guru Daud Pekade 1 Mei 1928. Saat setelah perang dunia kedua usai, Guru Sekolah sekaligus Guru Jemaat di Ifar Besar adalah Guru Socrates Samay, sebelumnya adalah Guru Jemaat Papuling (1934). Wem menyelesaikan pendidikan Doorpschool selama 3 tahun dari 1944-1947. Wem sementara sedang jalani masa-masa di Doorpschool tahun 1944 sejak berusia 10 tahun, kondisi yang dihadapi oleh Nieuw Guinea pada masa setelah usai perang dunia terdapat tiga pengaruh yang memiliki dampak bagi masa depan Nieuw Guinea : pengaruh pertama adalah pembentukkan pemerintahan sipil Hindia-Belanda yang dikenal dengan nama NICA “ Netherlands Indies Civil Administration” dibentuk di Australia 3 April 1944, dan orang yang memiliki andil dalam pembentukkan NICA adalah Gubernur Jendral Hindia-Belanda Letnan Huberthus Johannes van Mook dan Jendral Douglas Mac Arthur dari Sekutu yang bertujuan bahwa administrasi Pemerintahan dari Pemerintah Jepang diserahkan kepada Hindia-Belanda melalui NICA ; pengaruh kedua adalah pergerakan revolusi di wilayah Hindia-Belanda pimpinan Ir. Soekarno dan Moh. Hatta tentang keinginan “kaum marhaen” berpisah dari kekuasaan Belanda, revolusi memuncak dengan pembacaan proklamasi kemerdekaan 17 Agustus 1945”. Dan pengaruh ketiga adalah Sekolah Guru di Miei tahun 1946 ditutup dan di Yoka di buka Yoka Institut yang mengurus Sekolah Zending adalah H. J Teutscher dan di ganti oleh tuan N. van der Stoep. Secara umum era pasca perang dunia kedua 1944-1963 adalah “era kebangkitan pendidikan” di Nieuw Guinea.
Wem ke Sekolah Sambungan JVVS (1947-1950)
Wem yang menyelesaikan Doorpschool kemudian melanjutkan pendidikan ke Sekolah Sambungan Pria atau Jongens Vervolgsschool (JVVS) di Yoka dari tahun 1947-1950. JVVS merupakan model sekolah berpola asrama, lama Pendidikan adalah 3 tahun, untuk perempuan namanya Meisjes Vervolgschool (MVVS). Wem bersama teman-temannya menerima mata pelajaran pekerjaan tangan, hidup sehat, menyanyi/music, berkebun, ,menulis, berhitung, Bahasa Melayu, Bahasa Belanda, ilmu bumi, ilmu botani atau tumbuh-tumbuhan, ilmu hewan, menggambar dan olahraga. Pada masa Wem mengikuti pendidikan JVVS Yoka, ada beberapa peristiwa yang berdampak besar bagi Nieuw Guinea, baik peristiwa diinternal Zending dan peristiwa eksternal politik pemerintahan, antara lain :
Sumber Pustaka
Buku Pegangan Pelayanan Ibadah GKI di Tanah Papua,77 Khotbah Tahun 2022.Oleh Pendeta .Willoali,Halaman 1 s.d 6
Gereja Kristen Injili di Taah Papua (BKI)
Badan Pekerja Am Sinode
Comments